BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Adalah fitrah manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya baik secara lahiriyah maupun batiniah. Hal ini mendorong manusia untuk
senantiasa berupaya memperoleh segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya.
Pemenuhan kebutuhan lahiriyah identik dengan terpenuhinya kebutuhan dasar
(basic needs) berupa sandang, pangan dan papan. Tapi manusia tidak berhenti
sampai disitu, bahkan cenderung terus berkembang kebutuhan-kebutuhan lain yang
ingin dipenuhi. Segala kebutuhan itu seolah-olah bisa terselesaikan dengan dikumpulkannya Harta sebanyak-banyaknya.
Maka apa sebenarnya hakekat harta dan bagaimana pandangannya dalam Islam?
Al Qur’an adalah
sebuah Kitab Suci yang memberikan perhatian khusus kepada dunia serta
menilainya secara positif dan sama sekali tidak menilai negatif. Oleh karena
itulah Al Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan dan melakukan segala
sesuatu dengan baik terhadap sarana-sarana yang disediakan oleh Allah SWT untuk
manusia. Dengan demikian, apabila kita tidak mempergunakan sarana-sarana yang
Allah sediakan pada jalan yang benar berarti kita tidak menghargai karunia dan
nikmat yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia.
Harta bukanlah
sesuatu yang buruk dan menjijikkan, tetapi harta adalah sesuatu yang baik
(khair) dan berfungsi sebagai alat yang membantu kehidupan manusia serta
merupakan salah satu karunia Allah yang besar. Harta dipandang buruk dan
menjijikkan apabila praktek perolehan dan pemanfaatan harta mengakibatkan
hancurnya nilai-nilai kehidupan akhirat yang lebih mulia.
Seorang Muslim
diperintahkan untuk mencari nafkah dan menghasilkan harta dengan berjuang
sekuat tenaga. Tangan yang mengucurkan bantuan, dalam pandangan Islam jauh
lebih baik daripada tangan yang menerima kucuran bantuan sebagaimana yang
dikemukakan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW “Tangan yang di atas lebih
baik daripada tangan yang di bawah.”.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Harta
2. Seperti apakah Pandangan
Islam Mengenai Harta
3.
Bagaimana Kepemilikan Harta
4.
Bagaimanakah Metode Memperoleh dan Membelanjakan Harta
5.
Bagaimanakah Kedudukan Harta Dalam Islam
C.
TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memahami dan menjelaskan pengertian harta, pandangan
islam mengenai harta,
kepemilikan
harta, metode
memperoleh dan membelanjakan
harta dan kedudukan
harta dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HARTA
Istilah HARTA, atau al-mal dalam
al-Quran maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu,
sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria
harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur
nilai ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari
suatu barang. Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi
kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/ adat) yang
berlaku di tengah masyarakat. As-Suyuti berpendapat bahwa istilah Mal
hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan
dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya. Dengan
demikian tempat bergantungna status al-mal terletak pada nilai
ekonomis (al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam
harta tergantung pada besar ekcilnya anfaat suatu barng. Faktor manfaat menjadi
patokan dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang
menjadi tujuan dari semua jenis harta.
B.
PANDANGAN ISLAM MENGENAI HARTA
Pandangan Islam mengenai harta dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas
untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya
(QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: Seseorang
pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa
dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan
untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut
:
1.
Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia
hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2.
Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia
bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14).
Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta
kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3.
Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal
cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak (al-Anfal: 28)
4.
Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan
perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat,
infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (amal)
ataua mata pencaharian (Maisyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya.
(al-Baqarah:267) Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya
yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk
keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah (HR Ahmad). Mencari
rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain(HR Thabrani) jika
telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan
sempat mencari rezki (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang
melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH
(al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan
kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui
kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram
(al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan
timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan
(al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
C. KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik
Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai
jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras
dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri. Namun
demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni
konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi
kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai
dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia,
sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS
111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik
perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta
secara hukum.Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan
negara. Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia
yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan
Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang
pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara
keseluruhan.
D. METODE MEMPEROLEH DAN MEMBELANJAKAN
HARTA
Untuk memperoleh harta dapat ditempuh
dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat dan menghindarkan
mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong
menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara(hukum ALLAH). Di antara cara memperoleh harta dapat disebutkan yang
terpenting:
1)
Menguasai benda-benda mubah yang belum menjadi milik
seorang pun.
2)
Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah
(pemberian/.hadiah), dan wasiat
3)
Warisan sesuai dengan aturan Islam
4)
Syufah, hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan
yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota persekutuan yang lain.
5)
Iqtha, pemberian dari pemerintah
6)
Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi amil, nafkah
istri, anak, dan orang tua.
Cara memperoleh harta yang dilarang
ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu
memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang
bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta orang lain, menjual
barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan sebagainya. Kemudian
memperoleh hartanya dengan cara yang justru mendatangkan mudharat/keburukan
dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja, perjudian, minuman keras,
prostitusi,dan lain sebagainya. Atau memperoleh harta dengan jalan yang
bertentangan dengan nilai keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta
balas jasa tidak seimbang dengan jasa yang diberikan. Juga menjual barang
dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa dikatakan
mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam
mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan kebutuhan
dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya,
barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, Islam
mengharamkan bermegah-megah dan berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena
sifat ini cenderung kepada penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis
dari harta tersebut. Untuk itulah pada satu takaran tertentu
harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi pemenuhan hak
masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi ekonomisnya. Ringkasnya,
aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya harta memiliki fungsi ekonomis
yang harus senantiasa diberdayakan agar aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka
harta harus berputar dan bergerak di kalangan masyarakat baik dalam bentuk
konsumsi atau investasi.sarana yang diterapkan oleh syariat untuk
merealisasikan prinsip ini adalah dengan larangan menumpuk harta, monopoli
terutama pada kebutuhan pokok, larangan riba, berjudi, menipu.
2.
Prinsip jauhi konflik. Artinya harta jangan sampai menjadi
konflik antar sesama manusia. Untuk itu diperintahkan aturan dokumentasi,
pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi, jaminan (rahn/gadai).
3.
Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan dimaksudkan
untuk meminimalisasi kesenjangan sosial yang ada akibat perbedaan kepemilikan
harta secara individu. Terdapat dua metode untuk merealisasikan keadilan dalam
harta yaitu perintah untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap
penghamburan (Israf/mubazir).
E.
KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM
1.
Harta
sebagai amanah dari Allah SWT.
Harta merupakan amanah bagi manusia, karena manusia tidak
mampu mengadakan sesuatu benda dari tiada menjadi ada. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Albert Einstein (seorang ahli Ilmu Fisika), manusia tidak
mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu
bentuk energi ke bentuk energi lain. Jadi pencipta awal segala energi adalah
Allah SWT.
2.
Harta
sebagai perhiasan hidup manusia.
Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki,
menguasai, dan menikmati harta, namun demikian manusia harus sadar bahwa harta
yang dimilikinya hanyalah merupakan perhiasan selama ia hidup di dunia. Sebagai
perhiasan hidup, harta seringkali menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta
kebanggaan diri sebagaimana yang diungkapkan dalam Surah Al ‘Alaq ayat 6-7.
3.
Harta
sebagai ujian keimanan.
Dalam memperoleh dan memanfaatka harta, harus kita
perhatikan apakah telah sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam
Surah An Anfaal ayat 28 dikemukakan bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak
adalah suatu cobaan dari Allah SWT.
4.
Harta
sebagai bekal ibadah.
Dengan memiliki harta maka kita dapat melaksanakan perintah
Allah SWT dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia melalui kegiatan
zakat, infak dan sedekah sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah At Taubah
Ayat 41 & 60 serta Al Imran Ayat 133-134.
Harta yang kita peroleh
wajib melalui cara halal yang telah diatur secara jelas di berbagai ayat-ayat
dalam Al Qur’an dan Hadist Rasullulah SAW. Demikian pula dalam menggunakan atau
membelanjakan harta harus pula dengan cara yang baik demi memperoleh ridho
Allah SWT serta tercapainya distribusi kekayaan yang adil di tengah-tengah
masyarakat. Penggunaan atau pembelanjaan harta wajib dibatasi pada sesuatu yang
halal dan sesuai Syariah. Dengan demikian, harta kita jangan sampai digunakan
untuk perjudian, membeli minuman keras dan barang-barang yang diharamkan,
membayar perzinahan, atau apa saja yang dilarang oleh Syariah. Dalam
menggunakan hartanya, seorang Muslim juga dianjurkan untuk menyimpan atau
menginvestasikan hartanya sesuai dengan petunjuk yang telah digariskan oleh Al
Qur’an dan Hadist. Jika ia menyimpan hartanya, hendaklah ia mengeluarkan zakat
dan kewajiban lain yang berhubungan dengan itu; dan jika ia menginvestasikan
hartanya, maka ia harus memilih bisnis yang halal dan menjauhi bisnis yang
diharamkan serta menghindari transaksi bisnis yang mengandung “riba”. Seorang Muslim
diperintahkan menanamkan modalnya dalam bisnis yang halal, meskipun mungkin
akan menghasilkan keuntungan yang sedikit jika dibandingkan dengan investasi
pada wilayah-wilayah yang haram.
Sistem
pendistribusian penggunaan dan pembelanjaan harta kekayaan dalam Al Qur’an
didasarkan pada anjuran infaq, yang akan memberikan garansi bagi tersebarnya
secara meluas distribusi kekayaan. Sistem ini adalah sebuah antitesa dari
praktek-praktek riba yang mengumpulkan kekayaan pada satu tangan dan pada saat
yang bersamaan terdapat perlakuan eksploitatif terhadap masyarakat yang kurang
mampu. Dua konsep itu, yakni infaq dan riba, sangat berseberangan secara
mendasar, tujuan dan konsekuensinya. Konsep infaq, yakni membelanjakan harta
kekayaannya demi kepentingan orang lain, sedangkan konsep riba adalah
menggerogoti harta kekayaan orang lain secara tidak adil.
Al Qur’an memberikan
kebebasan bagi pemilik harta untuk menggunakannya demi kepentingan dan kepuasan
dirinya beserta keluarganya sebagaimana yang diungkapkan dalam Surah Ath
Thalaaq ayat 7, dan Al Qur’an juga mencanangkan kewajiban bagi pemilik harta
kekayaan untuk menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya bagi orang-orang
yang berhak menerimanya sebagaimana diungkapkan dalam Surah At Taubah ayat
34-35 & 60. Seseorang yang membelanjakan harta di jalan Allah, berarti ia
adalah seorang yang telah membangun hubungan dengan Allah dalam mencari nafkah
hidup mereka, dan pahala mereka akan berlipat ganda. Rasulullah menyatakan
bahwa seluruh manusia adalah satu “keluarga” Allah, dan manusia yang paling
dekat kepada Allah adalah orang yang paling baik terhadap “keluarga” Nya.
Al Qur’an dalam
beberapa ayat mengutuk sifat tamak, kikir, dan penimbunan harta. Tamak dan
kikir timbul pada diri seseorang akibat rasa cinta yang berlebihan pada dunia.
Salah satu penyebab tamak dan kikir adalah “riba”, karena merupakan factor
utama timbulnya konsentrasi kekayaan. Penimbunan harta dan terkonsentrasinya kekayaan pada
segelintir orang dilarang secara tegas dalam Surah Al Hasyr ayat 7.
Menurut seorang
ulama tingkat dunia, Mufti Muhammad Syafi’, terkonsentrasinya kekayaan pada
sekelompok orang tertentu merupakan sesuatu yang terkutuk dan dosa yang sangat
memalukan, sedangkan eksistensi riba adalah instrumen utama yang melahirkan dan
membuka koridor kejahatan, dan pelarangan riba adalah sebuah garansi yang akan
sanggup menggempur pengkonsentrasian dan penimbunan harta menuju distribusi
kekayaan yang merata. Alasan lain mengapa penimbunan harta itu dikutuk adalah
karena di samping ia menghambat sirkulasi normal kekayaan, ia juga merupakan
tindakan kejahatan karena menimbulkan kerugian produksi, konsumsi dan
perdagangan, atau dengan kata lain penimbunan harta akan menghambat jalannya
aktivitas perekonomian secara luas. Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat
disimpulkan bahwa Al Qur’an telah dengan jelas memberikan gambaran dalam
mengunakan atau membelanjakan harta kekayaan, yakni sebagai berikut:
1. Menekankan
perlunya infaq ;
2. Melarang sikap
boros terhadap harta dan menggunakannya dalam hal-hal yang dilarang oleh
Syariah;
3. Melarang riba,
penimbunan harta, monopoli, kikir, tamak, dan semua bentuk kejahatan dan
aktivitas yang tidak adil.
Sebagai seorang
yang beriman, marilah kita mengendalikan diri dengan mengikuti ajaran Al Qur’an
dan Hadist Rasulullah SAW dalam menggunakan dan membelanjakan harta kekayaan
dan menyadari bahwa kita hanyalah seorang pemegang amanah dari harta kekayaan
yang saat ini kita nikmati, karena pemilik absolut dari semua harta kekayaan
tersebut adalah Allah SWT. Firman Allah SWT, yang artinya: “Dan
sesungguhnya Dia memberikan kekayaan dan kecukupan.” (QS. 53/ An Najm: 48).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa HARTA, atau al-mal dalam
al-Quran maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu,
sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria
harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur
nilai ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari
suatu barang. Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu
yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai
dengan ketentuannya (QS al_Hadiid: 7).
Harta dinyatakan sebagai milik manusia,
sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS
111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik
perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta
secara hukum.Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan
negara. Di antara cara memperoleh harta dapat disebutkan yang terpenting:
1.
Menguasai benda-benda mubah yang belum menjadi milik
seorang pun.
2.
Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah
(pemberian/.hadiah), dan wasiat.
3.
Warisan sesuai dengan aturan Islam
4.
Syufah, hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan
yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota persekutuan yang lain.
5.
Iqtha, pemberian dari pemerintah
6.
Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi amil, nafkah
istri, anak, dan orang tua.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam
mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan kebutuhan
dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi
tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Http/.google.co.id. Harta dalam pandangan islam. Penjelasan dan
deskripsi masalah harta dalam kaca mata islam.com
Sitanggal, Umar Anshary,
1998. Harta dalam pandangan islam,
Semarang : CV Asy Syifa`, 1992.
Tohaputra, Ahmad..
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV Asy Syifa’, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar